Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengundang Harpel Professor of Capital Formation & Growth, Harvard University, Jeffery Frankel untuk berbagi pandangan terkait pengelolaan derasnya arus modal masuk ke negara berkembang (emerging market), termasuk Indonesia.
Jeffery diundang menjadi pembicara dalam seminar bertajuk 'Coping With Asia's Large Capital Inflows In a Multi Speed Global Economy' yang diadakan BI bersama IMF dan BKPM di Nusa Dua, Bali, Jumat (11/3/2011).
Menurut Jeffery, arus modal asing masuk akan terus terjadi di negara berkembang. Tren ini semacam siklus di mana pemodal besar cenderung menempatkan uang segarnya ke negara-negara di Asia, seperti India, China, Indonesia, juga lainnya. Alasannya sederhana, fundamental ekonomi di negara berkembang sangat baik dan terus berkembang. Hal lain, reformasi keuangan dan kebijakan fiskal terjaga.
Di sisi lain, kebijakan yang dipakai negara maju atau advanced economies (AE) tak berubah, seperti Yunani dan beberapa negara Eropa lain yang kebijakan fiskalnya rapuh.
Arus modal yang masuk ke negara berkembang khususnya Asia, menjadi pendorong tumbuhnya ekonomi dunia dengan kecepatan ganda. Arus modal menjadi dua sisi mata uang, karena ekonomi suatu bangsa bisa berkembang karena investasi terus berjalan. Namun perlu diingat, akan ada dampak negatif, yakni volatilitas pada jangka pendek.
Ini yang menjadi pekerjaan rumah banyak negara Asia. Masing-masing memiliki pemecahan untuk mengontrol capital inflow, termasuk Indonesia.
Bank Indonesia, sejak tahun lalu sudah mengantisipasi hal ini dengan baruan kebijakan, yang acap kali disampaikan Gubenur BI, Darmin Nasution. Diantaranya penerapan apresiasi mata uang, kebijakan makro capital flow serta kebijakan SBI.
Keseluruhannya dipadukan untuk meredam arus modal masuk hingga tidak mudah keluar. Dan pada akhirnya dimanfaatkan untuk investasi jangka panjang.
"BI dalam menjalankan kebijakan, dari capital inflow tidak hanya satu. Kita bisa melakukan perlambatan inflow, exchange rate (nilai tukar rupiah), dan melalui cadangan devisa (cadev). Juga ada kebijkan kami lainnya yang secara tidak langsung mempengaruhi," ucap Darmin di Hotel Grand Hyaat, Nusa Dua, Bali, Jumat (11/3/2011).
Kebijakan exchange rate, sebagai instrumen kebijakan mengelolaan capital inflow, didukung oleh Jeffery. Dahulu, menurutnya, kebijakan ini jarang dipakai oleh suatu negara. Namun kondisi saat ini berbeda, karena tantangan yang ada di depan mata juga tak lagi sama.
"Alokasi modal yang berbeda, dari advanced economies ke emerging market. Ke depan, rating kredit di negara berkembang akan semakin membaik. Dan negara maju akan ada penurunan peringkat," tegasnya.
Berdasarkan catatan Jeffery banyak negara di Asia yang peringkat kreditnya di atas negara maju. Seperti, peringkat kredit Singapura yang mengalahkan Belgia. Pun demikian Taiwan mengalahkan Italia, Korea mengalahkan Portugal, Malaysia mengalahkan Irlandia, serta India yang peringkatnya di atas Yunani.
Dalam mengendalikan arus modal asing, tegas Jeffery, menjadi tanggung jawab bersama antara bank sentral serta pemerintah. BI harus mampu mengimplementasikan kebijakan intervensi, capital controls, dan sterilisasi. Pemerintah memiliki pekerjaan yang tidak mudah, dengan mengefektifkan kebijakan fiskal dan kebijakan sektor komoditas khususnya agrikultur.
Jeffery menegaskan, saat arus modal terus masuk ada ancaman jangka pendek yang bisa terjadi, yakni overheating, dan Indonesia memiliki peluang tersebut, karena penetrasi pertumbuhan ekonomi dan rasio inflasi yang terus meningkat.
Overheating memang menjadi penanda pertumbuhan ekonomi suatu negara terus melaju. Sebagai konsekuensinya, tingkat inflasi juga akan merangkak naik. Ini tergambar dalam materi Jeffery dalam presentasi di hadapan 200 peserta forum.
(wep/dnl)
Whery Enggo Prayogi - detikFinance